Category Archives: Tanam Ide

Tanam Ide adalah kumpulan tulisan berisi gagasan/pengetahuan mengenai budaya media. Kanal ini juga terbuka bagi siapapun yang ingin memberikan pendidikan media bagi masyarakat.

Melihat Lagu Anak dari Berbagai Sisi

Oleh Deugalih 

Saya adalah seorang yang lebih memercayai pengalaman dibanding hanya membaca saja, pun hal ini terjadi sebab jarangnya referensi yang membahas musik anak, dengan harapan sesedikitnya bisa saya kutip. Jadi walhasil tulisan ini pun, lebih mengarah pada apa yang saya alami. Semoga bermanfaat 🙂

***

Anak-anak Sanggar Motekar bermain Oray-orayan, sebuah permainan dan lagu yang mengisahkan keceriaan anak-anak di daerah agraris

Hari itu saya bertemu Ray, anak usia 4, dia bilang “Om, bikin lagu dong. Lagu tentang mobil, mobil truk. Mobil truk yang terbang ke langit. Di langit truknya ketemu burung.” Saya mengernyit dahi apa anak ini ketularan bahasa sehari-hari saya ya? Saya bilang sama si Ray, “Nah loh Ray, susah dong bikin lagunya? Burungnya nyupir truk ngga?” Ray jawab “Iya!” dia lanjut dengan ketawa.

Baru saja kemarin saya ngobrol dengan Luthfi Adam yang me-request “Gal, buatin lagu anak.” saya bilang, oke. Namun permasalahannya dalam kepala orang dewasa seperti saya dan Upil (Luthfi) yakni, anak-anak itu pikirannya sederhana dan lugas. Nah, setelah mendengar Ray, pendapat saya tentang sederhana… saya hapus. Anak seperti Ray, ternyata psychedelic banget (hahaha).

Lalu saya mulai berpikir tentang ketertarikan anak terhadap nada. “Hap! Lalu ditangkap.” di sini, ledakan-ledakan seperti “Hap!”, “Dor!”, “Kring, kring, kring!” sepertinya memang jadi bagian favorit yang ditunggu anak-anak dalam satu lagu. Terbukti hampir setiap anak yang saya temui jika dalam kondisi mood yang baik akan mengucap “Hap!” dengan penuh semangat. Atau dengan kata lain, anak-anak sangat menyukai kejutan. Di lain hal, saya temui banyaknya lagu anak yang memakai non-lingua seperti “Tuk tik tak tik tuk” lalu “Dudidudi damdam dudidudi dam” atau lebih ekstrim lagi seperti “cukicakicu cukicakici” dan “Hoy nana hoy zimi zimi hoy nana hoy.” Nah oke, saya simpan buat referensi jika sedang buat lagu untuk anak.

Yang ke dua. Saya bertanya pada Upil “Lagu anak?” Upil menjawab “Yang nadanya simpel, Gal. Yang anak-anak bisa nyanyi.” secara tidak langsung, kembali, dalam pikiran orang dewasa seperti saya dan Upil melihat bahwa anak-anak belum mampu bernyanyi dengan nada yang sulit, apalagi untuk usia balita.

Oke, saya tanya Upil “Pil, pas gua kecil, gua suka nyanyi Ambilkan Bulan. Kayak gitu-gitu lagunya, bisa?” kata Upil “Ngga, Gal. Lebih sederhana lagi, itu kan elu.” Hmm, oke deh. “Semacam Naik-Naik Ke Puncak Gunung?” Upil menyahut “Yap!” … fiuh, susah juga.

Baiklah saya akan membandingkan lagu Twinkle Twinkle Little Star dan Naik-Naik Ke Puncak Gunung. Ada perbedaan? Ada. Naik-Naik Ke Puncak Gunung memiliki nada yang sulit! Sedangkan Twinkle Twinkle Little Star, tidak, lagu ini datar. Baiklah, saya bandingkan Jingle Bell dan Oh Amelia. Kasusnya sama. Dengan kata lain, lagu anak-anak Indonesia memiliki tingkat kesulitan nada yang cukup rumit untuk anak-anak (pada umumnya menurut perbandingan saya tadi). Sebab, Oh Amelia memiliki beberapa lekukan rendah ke tinggi dan pergantian nada yang cukup signifikan, sedang Jingle Bell? Tidak. Oleh sebab itu, di pikiran saya mengenai lagu anak, terutama lagu anak yang ada di Indonesia itu datar? Saya coret.

Yap, semakin menariklah saya untuk “Bagaimana membuat lagu anak yang mengena dengan nada yang terlihat sederhana. Padahal tidak.” Kita bisa lihat itu pada lagu Bintang Kejora, anak-anak mampu menyanyikannya, padahal nadanya sangat variatif.

Jadi, semakin mengernyitkan-dahilah saya “Mengapa lagu anak di Indonesia punya nada yang beragam?” tidak lama pertanyaan itu ada di kepala saya, teman Ray dan Cikal datang ke rumah “Cikaaaaaal….” dengan kejadian seperti ini yang lumrah ada pada kultur di Indonesia, anak Indonesia sudah terbiasa memanggil temannya dengan nada yang naik dan turun. Secara kasat kuping (elah), anak Indonesia sudah bisa menyanyi tingkat dasar semenjak dini dari budaya permainan mereka sendiri.

Akhirnya, semakin penasaranlah. Saya coba pada lagu tradisional selanjutnya, salahsatunya Cublek-Cublek Suweng. Oh tidak! Nadanya lebih beragam dari lagu popular anak yang beredar dan sering dinyanyikan di Taman Kanak-Kanak! Ups, tunggu dulu, Cublek-Cublek Suweng adalah nyanyian yang biasanya dinyanyikan oleh anak-anak usia 5 tahun ke atas, sebab pada masa usia ini anak-anak sudah bisa bermain dengan strategi, dan, “Oh gila! Lagu anak tradisional kreatif banget.” itu kata pikiran saya, bagaimana lagu ini dari nadanya mencerminkan kelihaian usia anak ketika mengenal strategi dalam permainan, lagu tersebut pun mendukung mereka untuk bekerjasama dengan tingkat nada yang lebih sulit dibanding lagu anak usia balita.

Hmm, bagaimana ya buat lagu anak usia balita? Saya tetap percaya, anak-anak Indonesia tidak sesederhana bernyanyi seperti lagu luar negeri, dengan melihat perbandingan tadi. Lalu saya terpikir “Apa sih yang membuat orang Indonesia ketika dewasa mudah melupakan masalalunya? Apa sih yang membuat orang Indonesia mudah terimbas arus zaman?” jawabannya pun saya memercayai ada pada lagu yang dulu kita nyanyikan ketika kecil. Banyak dari kita yang bermimpi menjadi seorang besar, tanpa melalui tahapan-tahapan kecil. Banyak pula dari kita yang bermimpi menjadi orang besar, dan tidak menghargai profesi yang terlihat nguli. Itu pun tersimpan dalam lagu anak, yakni tidak disebutkan dalam lagu anak. Hal ini saya lihat dari kecenderungan orang Jawa yang mengenal lagu Lir-Ilir, Jaranan, dan lain sebagainya. Atau manusia Indonesia di Jawa Barat yang mengenal betul masa ciliknya dengan lagu Asmarandana, Dangdanggula, Balabak dan lain sebagainya. Musik memang bermain dalam ranah psikologi dan memori pembentukan sikap dan sifat yang ditangkap otak yang suatu hari menjadi bagian dari attitude seorang anak.

Di sini, kita akan melihat adanya kecenderungan nuansa vokal pada akhiran rima lagu, baik lagu anak maupun lagu untuk dewasa. Seperti A, I, U, E, O. A biasanya dipakai sebagai sesuatu yang cerah dan penuh kejutan, seperti “Hap!” Vokal I yang biasanya dipakai sesuatu yang diraih entah sulit atau tidak (ini hanya kecenderungan lho). U biasa dipakai sebagai nada yang cukup gloomy dan sedih, apalagi jika dengan nada menurun; atau U sebaliknya yakni menghentak bersemangat, seperti “Hu!” namun ini jarang sekali dipakai. E hampir sama dengan I. Lalu O, yang sering dipakai dalam lagu dalam sifat pertanyaan, bertanya-tanya, penekanan. Tidak selalu tepat, namun itu adalah kecenderungan dari sifat huruf-huruf vokal. Baiklah, contohnya kita lihat pada lagu Balonku.

Balonku ada lima
rupa-rupa warnanya
merah kuning kelabu
merah muda dan biru

meletus balon hijau
dor!
hatiku sangat kacau

balonku tinggal empat
kupegang erat-erat

Di sana. Adanya penekanan-penekanan emosi. Yang jelas sangat berpengaruh pada psikologi anak, apalagi ketika menyebut kata “Kelabu” dengan nada menurun. Di sana, dari nada saja lagu tersebut sudah memberikan perintah pada otak secara bahasa nada, belum lagi dengan perpaduan bahasa yang dipakai. Apakah lagu Balonku jika ditelaah seperti ini adalah mengenai balon? Hmm, tentu saja tidak, ini sangat luas. Pada bait terakhir kita menemui adanya konsonan T “balonku tinggal empat” adanya penekanan dan kehilangan. Lalu kita bertemu kembali konsonan T sebagai penekanan pada “kupegang erat-erat.” di sini, kita melihat penekanan lain setelah si anak kehilangan, ia ditekankan untuk menjaga apa yang tersisa, sebaik-baiknya, dengan penekanan nada dan pemakaian bahasa*.

Jadi, PR saya kali ini melihat apa yang jadi pikiran selama ini akibat ulah Luthfi Adam, adalah… bahasa dan rima. Bahasa baik yang tersembunyi (metaforis) ataupun tidak, untuk memacu ingatan anak yang akan terus tumbuh berkembang yang dikemas dalam nada yang khas warna-warni. Tidak melulu harus ceria. Seperti Oh Amelia, Ambilkan Bulan, Kupu-Kupu Yang Lucu, Dodi Di Balik Pintu dan lain sebagainya; lagu-lagu tersebut terkesan ceria, namun jika diamati sangatlah gelap dan ada perumpamaan yang sulit dimengerti anak-anak. Namun, memori dari lagu tersebut akan tetap tersimpan di bawah sadar dan memengaruhi sedikitnya sebagai bagian dari perkembangan dan pertumbuhan mereka.

Semoga saya bisa!

Deugalih, 22 Mei 2011.
Untuk anak-anak Indonesia, semoga bisa terus bernyanyi dengan bahasa mereka 🙂

* dikutip dari Rasus Budhyono (Thin Wisthler, ayah dari Ray dan Cikal, Dosen Sastra Inggris Unpad), ketika mengutarakan pendapat tentang lagu anak 🙂 nuhun

http://deugalih.multiply.com/

Jurnalisme Musik dan kritik Sosial: Diskusi Buku Like This, Kumpulan Tulisan Jakartabeat.net

diskusi buku Like This, Kumpulan Tulisan Jakartabeat.net, 19/5 di Fikom Unpad

Ketika diminta Idhar Resmadi untuk menjadi pembicara di bedah buku Like This saya sebetulnya heran, kenapa tidak Idhar saja yang jadi pembicara, saya moderator. Tentu saja saya tahu diri bahwa pengetahuan wacana musik saya jauh diatas kedalaman Idhar, artinya saya dangkal. Namun, setelah bercakap-cakap dengan Idhar saya mengerti kenapa Idhar ingin saya jadi pembicara. Pertama karena saya dosen di Fikom Unpad dan Idhar ingin ada orang kampus yang jadi pembicara. Itu alasan formalitas banget, hehe. Kedua, Idhar ingin saya membahas sisi kajian budaya dari musik. Lho kenapa kajian budaya? Ini kan kampus Ilmu Komunikasi? Idhar sudah tahu bahwa selera saya adalah kajian budaya. Jadi saya sepakat dengan Idhar, komunikasi kita seret ke kajjian budaya. Itu saja? Ada satu alasan lagi, ketiga adalah Idhar ingin mendiskusikan musik dalam relevansinya sebagai kritik sosial. Jadi mungkin menurut Idhar saya ini tukang kritik, makanya cocok. Begitu, dhar?

Saya lalu membaca Like This yang diberi Idhar. Saya harus jujur bahwa saya belum pernah mampir sekalipun ke jakartabeat.net. Jadi ini pengalaman pertama saya membaca karya-karya penulis di Jakartabeat.net. Kesan pertama, ngeper! Daya jangkau pengetahuan musik mereka di atas rata-rata, belum lagi tulisan-tulisannya yang enak dibaca dan genit. Karena genit inilah maka “perlu” dibaca :p

Karena saya pembicara yang harus membahas isi buku maka saya bikin catatan ini, biar saya tidak lupa dan siapa tahu berguna buat yang lain. Pertama: buku ini tebal sekali, agak ngeri buat pembaca-pembaca yang masih harus berkutat dengan tugas kuliah. argumen ini tidak usah dibahas lebih lanjut, hehe. Mari kita coba bahas yang lebih menarik saja.

Musik dan Kritik Sosial

Apa hubungan antara musik dan kritik sosial? Selama ini saya meyakini bahwa musik itu bukanlah sekedar ekspresi estetika. Keber”Ada”an musik memuat motif-motif tertentu yang lebih saya suka sebut sebagai “pengetahuan”. Orang komunikasi suka menggunakan istilah “makna”: bahwa musik memiliki makna, berarti musik adalah penghadiran ulang dari pesan-pesan subjektif si musisi. Dari sisi inipun, sebuah tulisan mengenai suatu musikalitas bisa menyentuh sisi kritik mengenai sisi subjektifitas musikalitas si pemusik.  Di titik ini saya mengerti apa yang di katakan Taufiqurrahman: menulis musik adalah menulis tentang manusia.

Kemanusiaan dapat dimaknai dari musik. Di sini, musik menjadi suatu media/alat bagi manusia sebagai agen dalam kehidupan sosial. Kita bisa menemukan contoh model kritik ini dalam tulisan-tulisan di buku Like This. Salah satu tulisan favorit saya berjudul Dethu dan Program Radio Bali The Block Rockin’ Beats karya Felix Dass. Felix yang juga musisi ini mengerti benar kontribusi Dethu, personil Superman Is Dead, dalam kultur musik indie di Bali. Felix menampilkan konstruksi Dethu sebagai musisi yang juga berperan dalam praktik budaya: menyebarkan pengetahuan musik dalam jangkauan seleranya Dethu sendiri lewat program radio. Atau tulisan Kata Sebagai Komposisi: Menyimak Syair Lagu-Lagu Pure Saturday, juga Sejarah Komunitas Punk Jakarta karya Fathun Karib.

Contoh kritik sosial model ini adalah bahwa musisi menyebarkan pesan-pesan sosial melalui musik. Ingat, pesan dalam musik itu bukanlah sekedar lirik, namun musikalitas keseluruhan. Pesan subjektif mungkin saja tidak tampak secara eksplisit, karena lirik bisa amat puitis sehingga sulit dicari makna realisnya. Namun, kita bisa melihat reaksi individu tertentu dalam musiknya dari bagaimana mereka memainkan nada-nada dan lirik. Musik bisa menjadi cermin bagi pemusiknya dalam menghidupi hidupnya. Tulisan Nova Riyanti Yusuf Smashing Pumpkins dan Soal Mental Billy Corgan memberikan contoh bagaimana kondisi mental hadir dari pengalaman masa kecil kemudian hadir ulang dalam musik Billy Corgan.

 Kritik-Kritik yang Lain

Medium is the message, begitu kata Marshall McLuhan. Jika musik adalah medium, pesan apa yang serta merta ada bersama musik? Menyoal kritik, yang juga menjadi minat para penulis musik adalah soal genre. Genre musik bukanlah sesuatu yang netral, karena genre tersebut ada bersama pesan mengenai genre tersebut. Misalnya dalam tulisan Hair Metal Sudah Mati? Not So fast, Man! Karya Nuran Wibisono yang amat seru mengisahkan bagaimana genre musik hair metal mendisiplinkan musisi-musisi dan penikmat musiknya melalui fashion dan gaya hidup. Coba kita pikir-pikir lagi, setiap genre musik memiliki disiplin pengetahuan mengenai genre tersebut, yang seringkali diimani dengan amat taat, sedang, atau kemudian dimurtadi. Artinya, bicara musik juga bicara mengenai aturan, tata tertib, etika, atau adat istiadat. Lho, rock ‘n roll kan bebas? Kebebasan ala rock ‘n roll juga menciptakan hukum bebasnya sendiri, bukan?

Nah, menulis tentang musik juga bisa membuat kita mengamati bagaimana musik sebagai suatu media sudah mengandung struktur pesan mengenai apa itu musik (definisi, kaidah, cara memainkan, gaya pakaian, gaya hidup, dll). Artinya, menulis tentang musik bisa membawa kita menelusuri bukan hanya bagaimana manusia bereaksi terhadap lingkungan sosial sebagai diri yang merdeka pikirannya, namun melalui musik kita bisa melihat bagaimana manusia-manusia itu juga “dipenjara” dalam struktur musik tertentu. Kita bisa melihat pro-kontra antara satu jenis musik dengan yang lain, saling ejek antara musisi dari kelas menengah (Blur) dan kelas buruh (Oasis) atau kita juga bisa melihat bagaimana sebuah genre bisa berkembang secara genealogis misalnya dari blues ke hip hop.

Kasyikan menulis kritik sosial jenis ini tampak pada tulisan “gahar” Herry Sutresna Tentang Marx, Sartre dan Downset. Dalam tulisan ini musikalitas minim dibahas, namun Herry meloncat ke ranah filsafat sejarah materialisme Marx dan Eksistesialismenya Sartre. Musik dengan demikian menawarkan pembacaan mengenai struktur pengetahuan yang Ada bersamanya.

– Luthfi Adam 

*Untuk Diskusi Bedah Buku Like This, Jakartabeat.net. Kerjasama Komunitas Musik Fikom Unpad &Jakartabeat.net, 19 Mei 2011 di Fikom Unpad.

http://kmfunpad.tumblr.com/post/5685828004/jurnalisme-musik-dan-kritik-sosial-diskusi-buku-like


Burn Your Television, Read More!

She stepped off the bus out into the city streets/ just a small town girl with her whole life/ packed in a suitcase by her feet/ but somehow the light’s didn’t/ shine as bright as they did/ on her mamas tv screen/.

Jika mencermati penggalan lirik lagu “Fallen Angel” dari grup band Poison di atas, rasanya televisi bukan lagi sekedar kotak elektronis yang memancarkan sinar biru katoda atau sekedar medium representasi dan kumpulan citra. Lebih dari itu, televisi kita sehari-hari telah menjadi tingkat konsumsi. Menyedihkannya, kita mengkonsumsi apa yang tidak layak konsumsi? Basi? Eksploitasi? Minim edukasi?

Indonesia adalah negara yang memiliki tv nasional terbanyak kedua dengan sebelas tv nasional yaitu TVRI, RCTI, SCTV, Indosiar, TPI, ANTV, Trans TV, TV 7, Tv One, Global TV, dan Metro TV, selain Sri Langka yang memiliki 24 televisi nasional. Sebagai perbandingan, negara Amerika serikat saja “cuman” memiliki empat buah saja tv nasional. Ini membuktikan bahwa tingkat konsumsi tv di Indonesia begitu mendominasinya, karena permintaan atau kekuatan pasar-lah (market forced) yang memiliki peran sangat kuat.

Itulah bagaimana digdayanya kekuatan televisi. Mulai dari mempengaruhi, mendoktrin, mendogma, bahkan mencuci otak. Ibarat junk food, semua bisa tersaji cepat oleh televisi. Mengkonsumsi mentah-mentah televisi sudah menjadi oksigen sehari-hari. Semua sajiannya sudah ada, mulai dari yang menyukai infotainment, sinetron, berita, sit-kom, kuis, olahraga, dll. Satu hal yang pasti yaitu mereka menawarkan kesamaan, tipikal, dan konsumsi yang homogen. Maka, tak aneh rasanya jika kecenderungan pemikiran masyarakat jadi mudah disetir oleh televisi.

Contohnya saja, dunia sinetron. Sepuluh peringkat teratas program favorit di Indonesia ternyata dihuni oleh tayangan sinetron. Tayangan sinetron (drama series) juga mendominasi daftar tersebut dengan 43%. Bandingkan dengan tayangan berita yang hanya 2%. Portofolio sinetron ternyata masih dipegang oleh SCTV dengan 18 judul, disusul RCTI dengan 15 judul, TPI (7 judul), dan Indosiar (3 judul). Fenomena ini sebagai sinetron domination, atau, mungkin lebih tepatnya sinetron invasion.

Kehadiran sinetron pada waktu prime time membuat sinetron menjadi sajian utama. Padahal apa yang ditampilkan merupakan bentuk-bentuk eksploitasi emosi yang merupakan kisah-kisah klise semata. Eksploitasi pun dilakukan. Televisi lebih menganggap bahwa kisah-kisah sedih, haru, dan murung sebagai nilai jual sempurna. Eksploitasi soal kekerasan fisik hingga mental pun tak jauh dari objek cerita.

Sistem produksi yang lewat kejar tayang membuat si pembuat lebih memilih kuantitas dibandingkan kualitas. Jadinya sistem instant seperti ini menjadi pemicu. Dalam satu minggu saja sistem kejar tayang bisa berlangsung ngebut demi waktu tayang. Berbeda dengan sistem season yang diproduksi oleh televisi Amerika, misalnya.

Akibatnya, praktek tiru-meniru menjadi hal lazim. Budaya latah terjadi. Ketika tema agama sedang ramai maka tv lain pun serupa. Malangnya tak sedikit acara-acara sinteron yang meniru juga sinetron luar seperti: Benci Bilang Cinta mirip film Goong/Princess Hours atau Buku Harian Nayla mirip Ichi Rittoru No Namida/1 Litre of Tears. Pokoknya banyak banget deh tiru-menirunya.

Dunia berita tak jauh beda. Di layar kaca, berita sudah menjadi produk hiburan tak semata karya jurnalistik saja. Berita harus dapat dijual. Dan berita pun harus berdasarkan survei pasar. Makanya berita alih-alih membawa kita pada pengertian yang lebih baik atau memahami realitas dan pintu kebenaran. Seperti yang ditulis Kunda Dixit (1997) bahwa berita seolah tanpa tulang. Seolah-olah berita bisa menjadi dramatisasi antara wartawan dengan pihak lainnya.

Di dunia hiburan pun sama. Parahnya, eksploitasi fisik menjadi kunci. Untuk dunia komedi butuh orang bertubuh kurang cakep, fisik yang kurang, atau berperilaku kebanci-bancian, atau lawakan-lawakan yang tendensius. Dunia selebritis pun mengharapkan model-model tampan dan cantik bak miss universe. Makanya jika aktor atau aktris local kita kekurangan aktor yang berkarakter dan memiliki integritas. Karena semua dilihat dari tampang, bukan sikap!

Sayangnya, kita seperti menjadi mangsa kekerasan televisi. Kita ibarat perawan di sarang penyamun menghadapi dominasi media televisi. Kita mungkin mengidamkan adanya aturan publik yang menjadi palu bagi stasiun televisi seperti halnya Fairness Doctrine yang mewajibkan televisi untuk tunduk pada kebenaran dalam tayangan-tayangannya dalam berita. Atau adanya semacam V-Chip untuk mereduksi “kekerasan” yang kita terima akibat rating televisi.

Saya pikir terlalu naïf jika televisi di Indonesia bakal cepat berubah. Televisi di Indonesia saya yakin pasti bakal “anteng-anteng” aja mesti dikiritik sana-sini. Televisi masih terlalu arogan. Maka kuncinya adalah masyarakat itu sendiri untuk mengubahnya. Masyarakat mengidamkan memiliki otokritik sendiri terhadap konsumsinya dalam televisi, terutama dalam pengembangan nilai-nilai moral, sosial, dan budaya.

Saya jadi ingat dalam sebuah percakapan dalam performance art tahun 1975 yang digalang oleh kolektif Ant Farm. “Haven’t you ever wanted to put your foot through your television screen” ujar salah satu aktor berjudul “Media Burn” tersebut. Yup, kita bisa seperti itu. Dua dekade setelah itu, generasi yang lahir di era televisi kini bisa mencoba untuk melawan. Seperti halnya video kolase yang dilakukan oleh Emergency Broadcast Network dan sutradara Phil Pateris.

Idhar Resmadi

Mei 2009

artwork: throw away your tv by banksy

http://butuhspasi.blogspot.com/2009/05/burn-your-television-read-more.html