Category Archives: Televisi (di) Republik Indonesia

kritik untuk televisi

Televisi (di) Republik Indonesia

banksy tv

Melihat Televisi (di) Republik Indonesia, saya tak bisa untuk tidak protes terhadap isinya. Akhirnya selalu berpikir dua, tiga kali untuk menyalakan televisi, namun kebiasaan bersantap makan sambil menonton membuat saya lalu memencet tombol power remote tv. Tidak lama kemudian hati saya panas karena otak saya dan hati saya protes dengan tayangan di sana.

Isi televisi memang terfragmentasi dalam banyak program yang seakan-akan variatif. Namun garis besarnya sangat mudah untuk disimpulkan bahwa kebanyakan produk asal jadi tanpa riset dan mengutamakan aspek hiburan semata. Hari ini, saya menonton polemik Briptu Norman yang dituduh menjiplak lagu, minggu lalu talkshow di sebuah stasiun tv berita tentang NII. Keduanya sama-sama tidak asik menurut selera saya. Jika hiburan maka tidak menghibur, jika kritis maka sok kritis dan pertanyaan-pertanyaan pemandu acaranya terdengar menjengkelkan – jika ia menyanyi tambah menjengkelkan, tahu siapa yang saya maksud?

S. Kunto Adi Wibowo, seorang teman baik yang juga dosen yang baik di Fikom Unpad, dua minggu lalu mengajak saya membuat workshop media literasi, fokus utamanya mendidik anak-anak cara menonton televisi. Kekhawatiran Kunto dipicu karena sinetron menempati posisi teratas program tv paling sering ditonton. Saya sebentar-sebentar masih suka menengok sinetron dan saya setuju dengan ajakan Kunto: ya, anak-anak harus dijauhkan dari sinetron atau minimal ada upaya untuk memberi tahu apa dan bagaimana itu sinetron kepada khalayak sinetron. Kebanyakan sinetron bukanlah tontonan yang baik. Namun, yang menjadi keresahan saya selanjutnya adalah: harus menonton apakah masyarakat Indonesia? Tidak banyak program yang relevan untuk pendidikan anak untuk ditonton, terutama pada jam-jam sibuk menonton (baca: waktu luang). Sementara mematikan televisi sepertinya tidak mungkin.

Pikiran saya sedikit berbelok mengenai kondisi masyarakat. Saya lihat-lihat di Sanggar Motekar, tempat saya menyibukkan diri, sinetron dan isi televisi tidak mendominasi perbincangan. Ada variasi perbincangan ringan dan serius yang tidak tvsentris. Jikalau adapun itu untuk kasus-kasus spesial seperti ketika Antasari Azhar divonis bersalah, seluruh keluarga sanggar sedih dan kecewa karenanya. Keluarga sanggar memang cukup terdidik atau paling terdidik di lingkungannya, namun di sana juga banyak masyarakat awam yang sering berkumpul dan berbincang-bincang saat senggang. Ada perawat kuda, pensiunan pabrik rokok, ibu-ibu pembuat sale, petani dan lain-lain. Tema bincang-bincang amat beragam, jarang membincangkan isi hasil provokasi tv. Lalu saya pikir, isi televisi, sinetron dan program buruk lainnya, tidak secara serius mereka tanggapi. Tontonan belaka. Masuk dan keluar kepala. Meski demikian orang tv akan bilang: yang penting ditonton!

Saya belum pernah melakukan penelitian serius terhadap dampak sosial budaya tv. Meski telah banyak bacaan mengenainya, namun itupun tidak memberikan kejelasan mengenai dampak riil konten tv. Secara pribadi saya selalu protes dengan tayangan tv, namun protes itu menguap setelah saya menemukan ruang interaksi tanpa tv yang memuaskan saya. Alhasil, saya dan stasiun tv Indonesia menjalin hubungan tidak harmonis dan saya cuek. Banyak orang yang kesal dengan tayangan tv kemudian berhenti menonton, beberapa mengajak yang lain ikut berhenti menonton. Namun menurut saya jika orang-orang yang punya potensi mengkritisi tayangan tv berhenti menonton maka itu tidak akan mengubah isi tayangan menjadi lebih baik. Jadi, tontonlah tv lalu kritiklah. Bagi yang lain, mungkin mulailah dengan melakukan kegiatan diskusi publik atau workshop media literasi. Lingkungan sekitar kita adalah sasaran terbaik. Semakin banyak masyarakat yang kritis terhadap konten tv, makin besar kemungkinan adanya perubahan konten tv.

Luthfi Adam

http://www.luthfiadam.wordpress.com