Kuasa Patriarki dalam Lingerie: Representasi Seksualitas Perempuan dalam Majalah Cinta Cinta

oleh Muhamad Heychael

Sekali waktu, pasti pernah, deh, kita berpikir tentang hal-hal ‘nakal’. Jika selama ini kita buru-buru menyensor pikiran tersebut,sesekali biarkan berkembang. Biar nggak terlalu merasa bersalah, hehehe,alihkan pikiran ‘nakal’ kita pada pasangan. Misalnya, nih, membayangkan kita dan si dia berenang di pantai tanpa sehelai benang pun atau si dia memberikan seks oral di bawah meja kerja. ..  Pasti,deh, dalam waktu singkat kita ingin mengajak si dia melampiaskan hasrat bercinta, he he he.

(http://www.citacinta.com/Cerdas/seks.kesehatan)

Paragraf diatas merupakan salah satu dari tips meningkatkan gairah seksual dalam  rubrik seks dan kesehatan di majalah cita cinta. Kalimat yang terhitung vulgar diatas tentu mengingatkan kita pada betapa bebasnya perempuan berbicara mengenai tubuh dan seksualitasnya di era modern. Penggunaan istilah pasangan juga tampak merupakan bentuk emansipasi atas lokalisasi seksualitas dalam budaya patriarki, yang hanya mengizinkan seksualitas dalam lingkup pernikahan.

Hanya saja apabila kita perhatikan secara seksama, kebebasan itu hilang begitu kalimat seperti ini muncul, “Biar nggak terlalu merasa bersalah, hehehe, alihkan pikiran ‘nakal’ kita pada pasangan”. Imajinasi seksual yang tadinya seperti diberi kebebasan kemudian direpresi oleh norma budaya patriarki. Imajinasi seksual bagi perempuan haruslah diikuti oleh bayangan mengenai hubungan heteroseksual dengan laki-laki. Dengan kata lain, seks hanya sah bagi wanita dalam konteks melayani kelaki-lakian.

Belum lagi apabila kita perhatikan keseluruhan konteks dari tips terebut yang bermaksud meningkatkan gairah seksual perempuan demi mempertahankan keharmonisan hubungan. Pada titik ini perempuan dibuat “merasa perlu” untuk melihat hubungan dengan cara yang maskulin. Dimana hubungan didefinisikan sebagai cara pemuasan kebutuhan seksual, dan apabila itu hilang maka bersamanya hilang pula suatu hubungan. Alih-alih sebagai bentuk pembebasan apa yang direpresentasikan dalam paragraf diatas adalah bentuk lain subordinasi perempuan.

Dalam paragraf yang lain ideologi mengenai hubungan seks tampak lebih jelas,

Dulu pasangan paling nggak tahan melihat kita tanpa busana. Pasti si dia langsung melancarkan berbagai rayuan untuk mengajak kita bercinta. Akhir-akhir ini, meski kita tujuh kali bolak-balik di depannya dalam keadaan naked, si dia diam saja .Jangan buru-buru berprasangka si dia nggak cinta kita lagi, deh. Hal ini wajar, kok. Dulu, disuguhi pemandangan sensual sedikit saja, si dia nggak tahan nafsunya. Namun dengan berjalannya waktu, si dia makin terbiasa tubuh kita. Kita kudu naik kelas dalam menggoda si dia. Belai si dia, bisikkan kata-kata nakal dan beri sentuhan menggoda pada adik kecilnya. Si dia pasti nggak tahan….

(http://www.citacinta.com/Cerdas/seks.kesehatan)

Paragraf ini meneguhkan klaim yang menyatakan cinta ada dalam hubungan seks. Tanpa hubungan seks seolah tidak ada cinta. Penekanan hubungan yang berporos pada tubuh membuka jalan pada masuknya logika industri. Dengan sendirinya, perawatan tubuh menjadi satu hal yang tidak dapat dihindari bagi mereka yang mencintai. Tanpa tubuh yang ideal (tinggi, putih, dan langsing) maka akan sulit menemukan cinta yang diharapkan. Teks ini semakin membenarkan kebutuhan wanita akan berbagai produk kecantikan yang berguna untuk menunda penuan, memutihkan kulit, dan banyak lainnya.

Tidak hanya itu, seiring dengan semakin meningkatnya kebutuhan untuk meningkatkan kualitas hubungan seks, maka dibutuhkan semakin banyak pula produk yang menunjangnya. Jika dulu berhubungan seks dikamar saja sudah cukup, maka ketika seks dikamar mulai membosankan, maka sesekali perlu mencoba vila ataupun resort di tempat liburan. Sehingga pemuasaan kebutuhan akan hubungan seksual yang diefinisikan sebagai “cinta”, seiring sejalan dengan pemenuhan kebutuhan akan produk-produk industri kecantikan, dengan cara itulah industri dapat terus berjalan. Senada dengan itu semua, kalimat dibawah ini kembali memperlihatkan kolusi patriarki dengan industri.

Aura seksi akan terpancar dari dalam. Jika kita merasa seksi, orang lain pun mendapat kesan serupa. Makanya, meski tak terlihat, boleh saja kalau kita ingin memakai lingerie keren di balik baju kantor atau baju batik. Lingerie tersebut akan membuat kita merasa seksi. Saat ketemu cowok keren, dalam hati kita bisa bilang kalau si dia bakal suka jika melihat ‘harta karun’ kita ini. Buat yang sudah berpasangan, bisa dijadikan alat menggoda si dia sepulang kerja, tuh!

 (http://www.citacinta.com/Cerdas/seks.kesehatan)

Analogi harta karun dalam kalimat tersebut mengingatkan kita pada berbagai cerita kuno mengenai para pemburu harta karun. Menemukan harta karun berarti menemukan sumber penikmatan. Namun mendapatkan harta karun bukanlah hal yang mudah, lebih sebagai proses penaklukan. Dengan kata lain, bahasa yang digunakan oleh teks diatas seolah memaksa wanita mengakui posisinya sebagai objek seksual daripada subjek. Dengan menggunakan Lingerie perempuan merasa lebih layak untuk ditaklukan. Dengan cerdas oleh teks tersebut disampaikan dengan bahasa yang seolah perempuan adalah subjek yang mempergunakan daya tariknya, tergambar dalam kata “alat menggoda” dan “merasa seksi” (baca:percaya diri).

Preposisi yang dibangun oleh kalimat demi kalimat yang terdapat dalam paragraf diatas, seolah ingin mengatakan “ya aku (perempuan) memang objek seksual dan aku bangga akan hal itu”. Inilah yang sesungguhnya di populerkan oleh majalah wanita sebagai kebebasan perempuan. Perempuan memang dibebaskan dari belenggu agama dan norma dalam hal berbicara mengenai tubuh dan seksualitas mereka. Namun tidak dalam hal subordinasi mereka dihadapan laki-laki. Seolah semua hal yang dilakukan oleh perempuan, termasuk memakai kosmetik, baju yang mewah, dan bahkan lingerie merupakan usaha untuk mendapatkan pasangan atau mempertahankan pasangannnya.

Pada akhirnya Teks ini menunjukkan pada kita bagaimana komodifikasi terjadi.  Lingerie didefinisikan sebagai sama dengan kepercayaan diri. Logika industri seolah memberi kepercayaan diri pada inferioritas seksualitas perempuan dengan produk-produk yang dijualnya. Dari sini kita dapat melihat jalin-menjalin logika industri dan patriarki, merupakan satu hal yang logis. Kebebasan perempuan dalam media, dengan kata lain, tidak lebih dari kebebasan untuk memilih produk kecantikan yang dibutuhkannya untuk memenuhi atribut identitas yang semu.

Untuk memberikan kekuatan yang sifatnya otoritatif, Keseluruhan logika ini dibalut oleh rubrik yang dinamakan seks dan kesehatan. Seolah inilah adalah cara pandang seks yang sehat, diluar itu adalah penyimpangan atau patologis. Kata “sehat” merupakan tanda dari teks yang meminjam otoritas medis untuk “memaksakan” pandangannya pada pembaca.

 

http://heychael.blogspot.com/2011/05/studi-kasus-representasi-sexulitas.html

Membuat Lagu Anak, Yuk!

Berawal dari diskusi dengan Leoni Rahmawati di ruang tunggu kantor Wakil Menteri Pendidikan Nasional, Prof. Fasli Jalal, meluncurlah ide program pembuatan lagu anak-anak.

“Kan Taman Ide di Bandung semarkas sama beberapa band, kenapa gak ajak mereka bikin lagu buat anak-anak? Hasilnya disebar ke PAUD pake acara workshop”, Ujar Leoni yang namanya sama dengan salah satu personil Trio Kwek-Kwek. Jangan-jangan juga karena hal itu Leoni kepikiran program ini? Ternyata bukan, Ibunda Leoni memiliki PAUD dan kata Leoni saat ini PAUD kekurangan stok lagu anak-anak.

Sejak itu gagasan program ini hidup di benak saya. Banyak pertanyaan yang muncul, kapan lagu anak-anak terakhir dibuat? Lagu anak-anak sekarang seperti apa yah? Apakah anak-anak sekarang menyanyikan lagu anak-anak atau lagu pop remaja/dewasa yang membludak di tv? Beberapa hari setelah audiensi dengan Pak Fasli Jalal yang berjalan lancar dan sukses itu anak-anak Taman Ide berkumpul, salah satu agendanya membicarakan gagasan Leoni tersebut. Hasilnya, pegiat Taman Ide jatuh cinta pada ide tersebut.

Rancangan program ini unik, karena tujuannya adalah membuat lagu untuk anak-anak, bukan lagu tentang anak-anak. Sebagai ilustrasi silakan nyanyikan dalam hati (mau kencang-kencang juga silakan) lagu Satu-Satu, Balonku, Aku Seorang Kapiten, Dua Mata Saya dan banyak lagi. Atau silakan cek di Wikipedia daftar lagu anak. Ada yang ironis lho, daftar penciptanya amat pendek. Di Wikipedia hanya tercantum nama Ibu Sud, AT Mahmud, Pak Kasur, S.M. Mochtar, Cornel Simanjuntak, dan beberapa nama yang tidak populer di telinga saya M. Suharto, Daljono, Pak Dal dan R. Maladi. Selain itu banyak judul lagu anak dari berbagai daerah juga masuk daftar seperti Rasa Sayange dan Ampar-ampar Pisang. Di daftar pencipta lagu anak tidak ada nama Papa T. Bob, lho.

Saya rasa bagi yang suka memikirkan kondisi anak-anak, atau yang memperhatikan konten media dan budaya pop akan bisa mengembangkan argumen signifikansi gagasan ini. Dalam diskusi internal pegiat Taman Ide argumentasi program ini tidak banyak dibahas karena masing-masing telah mengerti signifikansi gagasan ini cukup tinggi. Intinya, tidak banyak – untuk tidak menyebutkan sangat sedikit – lagu anak yang punya nilai classic, long lasting, edukatif dan menjadi alternatif untuk dinyanyikan anak saat ini. Lagu anak yang dinyanyikan masih melulu karya-karya tahun 70an. Lalu pada ke mana pencipta lagu masa kini?

Patton Idola Cilik

Satu-satunya yang menjadi problem (selain problem teknis) adalah anak-anak umur berapa? Mengingat TK dengan SD saat ini sudah punya selera berbeda. Anak-anak SD sudah mampu mengapresiasi lagu remaja (terbayang mereka bernyanyi lagu Cinta Cenat Cenut milik boyband Sm*sh). Tengok pula tayangan ajang pencarian bakat di tv, anak-anak itu dipaksa menyanyikan lagu dewasa, sekaligus setelan baju dan dandanannya. Maka, kami memutuskan untuk membuat program untuk segmen anak usia dini.

Lalu siapa yang akan kita ajak kerjasama membuat lagu? Emang pegiat taman ide ada musisi? Idhar yang jurnalis musik bisanya bermain noise ala Sonic Youth, rasanya sulit buatnya menciptakan lagu anak. Lalu saya bertemu Galih yang punya nama beken Deugalih, personil band Deugalih and Folks yang sebentar lagi mau launching album. Ia langsung setuju dengan gagasan ini. Seperti yang saya duga dia pusing sendiri karena riset sana riset sini demi menemukan argumentasinya sendiri. Hasilnya bisa dilihat di tulisannya di blog Taman Ide dan di www.deugalih.multiply.com. Selain Deugalih and Folks, Taman Ide juga membutuhkan kontribusi banyak musisi untuk membuat lagu anak, merekamnya lalu disebarkan lewat program workshop. Tertantang bikin lagu anak?

Untuk mengawali program ini, tentu riset harus dilakukan untuk benar-benar memahami bagaimana lagu anak seharusnya. Secara teknis Galih telah membeberkannya meski masih seadanya, secara nonteknis pekerjaan riset harus mencakup berbagai sisi: psikologis, sosiologis, kultural dan pedagogis. Bagi Taman Ide sendiri gagasan ini adalah hal baru. Oleh karenanya berbagai masukan sangat kami nantikan.

– Luthfi Adam/Taman Ide

Mengenal Apa Itu “Budaya Indonesia”

Oleh Holy Rafika

Ketika peringatan hardiknas dan harkitnas, disambung-sambungkan dengan masalah karakter bangsa. Budaya menjadi penting. Tetapi menjadi lucu setengah mati tatkala departemen pendidikan teriak-teriak soal pendidikan karakter indonesia, yang kurang dan lebihnya akan nyangkut ke masalah budaya.

Lucunya begini.

Dulu, saat Orde Baru dikomandani oleh Pak Harto, budaya dimanajeri oleh sebuah departemen yang menjadi satu dengan pendidikan. Orang jaman Pak Harto menyebutnya dengan gampang; Dikbud (Depdikbud). Kini budaya diasuh oleh departemen Pariwisata di bawah disbudpar (konon kabarnya malah berganti menjadi disparbud). Ganti nama mungkin tak penting, tapi ganti manajer berarti ganti orientasi. Dulu barangkali kebudayaan diorientasikan sama dengan pendidikan; mendidik generasi bangsa. Tetapi sekarang digabung dengan pariwisata yang orientasinya jualan. Sangat beda tentunya, budaya untuk mendidik dan budaya untuk jualan.

Tapi anggap saja saya hanya bersuuzon saja, dan suuzon tentu tidak baik. Jadi saran saya, lebih baik tanya sendiri saja ke Pak Jero Wacik. Jangan takut wong biar penggede, dia itu dibayar dari duit negara buat menangani kita, coro-coro yang kadang terlalu bodoh di era neolib ini.

Jadi dimana lucunya? Ketika budaya sudah dipindah tangankan ke Disbudpar, maka pendidikan pun kelimpungan, ujungnya balik-balik lagi ke soal budaya yang kini dilabeli dengan kata yang sedikit berjiwa “pendidikan karakter”. Sebabnya mungkin dua; pertama mereka sadar betul bahwa reformasi telah keliru menjual budaya, atau sebab kedua -yang sangat lucu lagi, mereka kebanyakan duit untuk menata kondisi pendidikan.

Baiklah mari kita kembali ke pokok masalah budaya Indonesia.

Setelah indonesia berdiri, banyak yang telah mencoba mendefinisikan budaya indonesia; apakah yang dinamakan budaya Indonesia? Tak hanya satu atau dua minggu untuk mendefinisikan itu. “Polemik Kebudayaan” yang terkenal itu usianya sangat panjang; Sutan Takdir ngotot bahwa budaya indonesia adalah “budaya barat” dan pembangunannya harus diarahkan ke Barat. Barat adalah standarnya. Sementara yang lain menyandarkan pada kemegahan “budaya adiluhung masa lalu”; entah Majapahit, Mataram, dan lain sebagainya. Sedang penyair macam Chairil Anwar berada “di antara dua kutub itu” (lihat syair Chairil Anwar “Buat Gadis Rasyid”) juga Sudjojono, yang disebut sebagai Bapak Seni Rupa Modern Indonesia itu. (penjelasan lebih lanjut mengenai ini baca Seni Rupa Kontemporer Indonesia-Archaeology di arsip bulan Maret http://holyrafika.blogspot.com/)

Hal itu menjadi perdebatan sejak tahun 1930-an, dan “dianggap” diakhiri oleh ceramah kebudayaan Nirwan Dewanto tahun 1991. Saat itu, kurang lebih, Nirwan bilang bahwa budaya Indonesia adalah budaya yang mikro, yang kita nikmati dan rasakan sehari-hari, apakah ia berasal dari barat ataupun timur.

Apakah Nirwan sesukses itu? Kalau hari ini kita masih bingung dengan arah karakter bangsa, saya hanya bisa bilang entahlah. Jadi apa itu budaya indonesia? Belum jelas juga. Kalaupun ada definisi paling jelas, budaya indonesia barangkali adalah salah satu jualan kita di bidang pariwisata. Kalau tak salah…

http://holyrafika.blogspot.com/search/label/indonesia